Skip to main content
Beda Pandangan adalah Fitrah

Beda Pandangan adalah Fitrah

Beda Pandangan adalah Fitrah
TANGERANG – Radikalisme merupakan keyakinan dan tindakan berdasarkan pada kesungguhan sebuah
dogma ajaran. Dalam ilmu pengetahuan, radikalisme dibutuhkan karena tidak hanya berpikir secara
parsial tetapi juga secara holistik. Namun dalam agama, radikalisme seringkali diartikan sebagai tindakan
secara langsung. “Atau kalau tidak sesuai dengan syariat agama tidak boleh. Kemudian yang kedua,
sering kali sandaran hukum agamanya atau dalil yang digunakan itu adalah dalil yang tidak
dipersamakan dengan dalil yang lain. Sehingga orang cenderung melakukan tindakan-tindakan yang
menurut kelompok tertentu dianggapnya benar,” ujar Dr. Khusaini, S.Pd., MSE., M.Ak, dosen Pendidikan
Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unis Tangerang, Senin (26/12/22).
Menurut Khusaini, di Indonesia radikalisme diartikan sebagai tindakan intoleransi. Seperti, membunuh
orang lain dengan cara mengebom, karena orang tersebut tidak sesuai dengan keyakinannya. “Menurut
pandangan saya orang yang seperti itu belajar kitabnya hanya satu. Contoh, kita belajar tentang hukum
ada satu kitab, kemudian tidak dibandingkan dengan beberapa kitab lain yang memang si pengarangnya
ini sudah diakui kesolehannya, ibadahnya, tingkat kecendikiawannya. Harusnya diperbandingkan,” jelas
Khusaini.
Khusaini menjelaskan, perbedaan pandangan merupakan suatu fitrah yang harus disyukuri. Namun,
harus ditempatkan pada kondisi perbedaan tersebut merupakan salah satu bentuk persatuan, bukan
perbedaan. Lanjutnya, aktivitas pada kelompok tersebut sering tidak menerima perbedaan keyakinan
dari kelompok lain. “Jangankan dengan agamanya yang berbeda, dengan yang satu agama saja kalau
bukan kelompoknya itu dianggapnya adalah sudah kafir, bisa dikatakan seperti itu. Dan cenderung
tindakannya intoleran. Contoh, misalnya ada simbol-simbol di luar agamanya itu biasanya tidak boleh,”
ucapnya.
Khusaini menyampaikan, ketika masuk ke dalam kelompok radikal tersebut, mengakibatkan adanya
tindakan intoleran. “Tapi ingat kelompok radikal bukan hanya terjadi di salah satu agama saja, tetapi di
agama manapun juga ada kelompok-kelompok tersebut,” papar Khusaini.
Lanjutnya, kelompok radikal pada masing-masing agama berjumlah kecil, namun tindakannya dapat
berdampak luas. “Dengan pengalaman-pengalaman itu, sehingga ketika ada tindakan intoleransi
cenderung orang menjustifikasi bahwa itu tindakan yang radikal. Itu sudah menjadi stigma padahal
belum tentu seperti itu,” imbuh Khusaini.
Khusaini berpesan, setiap orang harus mau belajar, dan memiliki guru yang tepat. Perkembangan
informasi dan media sosial dapat menjadi tempat belajar setiap orang, namun jika tidak dibersamai
dengan guru maka akan celaka. “Karena yang dibaca sumbernya juga tidak jelas, oleh karena itu paling
penting ketika menemukan sesuatu yang sifatnya ada keganjilan dan keanehan yang tidak sesuai dengan
pendapat selama ini diterima, seharusnya ditanyakan kepada orang yang lebih ahli,” katanya.
Khusaini menambahkan, sampai kapanpun manusia dan agama tidak dapat dipersatukan. “Karena
perbedaan itu adalah fitrah, sengaja Allah menciptakan manusia itu berbeda-beda, berbangsa-banga,
bersuku-suku tapi tujuannya tidak lain hanya saling mengenal,” tutup Khusaini. (Vita)

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.